DHTv, JAKARTA — Setelah terlambat satu tahun, Presiden Joko Widodo akhirnya mengeluarkan Peraturan Presiden No. 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2021-2025 pada 8 Juni 2021. RANHAM ini mencabut dan menggantikan RANHAM sebelumnya periode 2015-2019.
Sayangnya, muatan RANHAM 2021-2024 mundur dari RANHAM sebelumnya. Rencana Aksi HAM ini sama sekali tidak mengangkat permasalahan pelanggaran HAM yang berat, bahkan jauh dari menjawab pelanggaran HAM lainnya yang juga perlu menjadi prioritas.
Komisi untuk orang hilang dan tindak kekerasan (KontraS) dalam rillis tertulisnya, menilai Pemerintah mencari aman dengan mengabaikan dan tidak memprioritaskan Aksi HAM yang mendesak untuk menjawab pelanggaran HAM yang marak dijumpai seperti penyiksaan dan brutalitas aparat.
Sebagai RANHAM generasi kelima pasca Reformasi 1998, Rencana Aksi HAM ini mengecewakan dan kembali menunjukkan ketidakseriusan Pemerintah dalam memprioritaskan penyelesaian pelanggaran HAM berat.
Padahal sejak awal kepemimpinannya, lebih dari 8 kali Presiden Joko Widodo baik secara lisan maupun tertulis menyatakan komitmennya menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan.
Sebelumnya RANHAM 2015-2019 dalam Perpres No. 33/2018 jo. Perpres No. 75/2015 mencakup pembahasan ratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa serta optimalisasi koordinasi penanganan dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Melihat tidak adanya kemajuan pada periode RANHAM 2015-2019, ditambah dengan nihilnya partisipasi publik dalam menilai keberhasilan dari Perpres No. 75/2015 ini menandakan adanya penilaian searah yang dilakukan oleh pemerintah tanpa mempertimbangkan masukan dari masyarakat, khususnya komunitas korban dan keluarga korban.
Pelaksanaan RANHAM tidak hanya berasal dari komitmen nasional, namun juga komitmen internasional yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Sebagai contoh, ratifikasi Konvensi Internasional dan pelaksanaan Pengadilan HAM yang disampaikan pada sidang Universal Periodic Review tahun 2017 lalu.
Menjadi masalah ketika kemajuan RANHAM 2015-2019 terkait masa lalu hanya dinilai dari sekedar terlaksananya diskusi antar lembaga eksekutif terkait pengesahan Konvensi Anti-Penghilangan Paksa dan terlaksananya koordinasi upaya penanganan dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu kemudian telah dicentang sebagai suatu keberhasilan, tanpa mendorong dan mengawal keduanya hingga disahkan dan diselesaikan secara utuh.
Minimnya komitmen pemerintah untuk melaksanan RANHAM secara menyeluruh terlihat dari dua aspek, diantaranya yakni: 1) Pembahasan di parlemen untuk ratifikasi maupun ditindaklanjutinya berkas masa lalu ke tahap penyidikan. Selain terjadinya bolak balik berkas antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, Jaksa Agung ST Burhanuddin di awal 2020 lalu menyatakan kasus Semanggi I-II bukan pelanggaran HAM berat secara sepihak tanpa pernah melakukan kewajibannya. Jaksa Agung juga membentuk Satgas untuk mempercepat penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, namun nyatanya hal tersebut juga tidak dimasukkan dalam prioritas RANHAM 2021-2025.
Menyaksikan RANHAM 2021-2025 yang bersih dari prioritas penuntasan kasus masa lalu, hal ini jelas mencerminkan ketidakmauan pemerintah (political will) pemerintah Indonesia untuk segera mendorong penyelesaian pelanggaran HAM berat. Ditambah dengan beberapa fakta lain, diantaranya dirangkulnya kroni-kroni Soeharto ke dalam pemerintahan pada rezim ini yang tentu saja hal tersebut telah melukai hak korban.
Beberapa upaya pemulihan telah dilakukan oleh pemerintah melalui badan eksekutif, namun perlu dicatat bahwa hal tersebut tidak meluruhkan kewajiban pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme yudisial sesuai dengan mandat UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Pada rezim kepemimpinan Joko Widodo, KontraS memandang bahwa isu pelanggaran HAM hanya merupakan sebuah komoditas dan adanya tebang pilih isu untuk melegitimasi kepemimpinannya dalam memajukan isu ha