Bandar Lampung – Sejumlah warga di Kota Bandar Lampung, Propinsi Lampung, terpotret berdesakan mengantre untuk membeli minyak goreng tanpa protokol kesehatan, di indomaret ratu dibalau dan turi raya, pada Selasa (22/02/2022).
Mereka rela berdesak-desakan karena sudah kesulitan memperoleh minyak selama beberapa pekan ini.
Minimnya stok yang beredar membuat warga kesulitan mendapatkan minyak goreng curah maupun kemasan untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau kelanjutan usaha mereka.
Hasil investigasi dilapangan, didapati bahwa warga yang mengantre diberi kupon untuk antrian dan berdesak desakan tanpa mematuhi protokol kesehatan. “Kami tadi dikasih kupon antrian pak, ya mau gimana lagi sekarang minyak goreng jadi mahal trus susah didapat, ya mending kami ngantri disini tebus minyak goreng Rp.14.000 per liternya”.
Di tempat terpisah, inspeksi dadakan (Sidak) oleh Tim gabungan Satgas Pangan dari Mabes Polri, Polda Lampung, dan Dinas Perindustrian Perdagangan (Disperindag) Lampung di CV Sinar Laut, Sukabumi, Bandar Lampung, Selasa (22/2/2022). Ditemukan sebanyak 345.600 liter minyak goreng, menumpuk di gudang milik CV Sinar Laut.
Eri Apriadi, praktisi hukum dari Advokat Bela Rakyat (ABR), ketika dimintai pendapatnya terkait kerumunan yang terjadi dalam antrian minyak goreng tersebut, mengingatkan, pelanggar kerumunan di tengah meningkatnya pandemi Covid-19 varian omicron saat ini, merupakan salah satu pelanggaran pidana, Aturan tersebut tertuang dalam UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
“Mereka, dengan berbagai informasi, pengetahuan yang dimiliki, tingkat kesadaran serta levelitas edukasinya harusnya sadar dan mengetahui bahwa menciptakan dan atau mendatangi kerumunan massa adalah perbuatan melawan hukum dalam hal ini melanggar penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, apalagi walikota Bandar Lampung sudah mengeluarkan instruksi Pemberlakuan Pembatasan Masyarakat (PPKM) Level 3 melalui instruksi walikota nomor 5 tahun 2022, harusnya inatruksi ini ditaati” kata Eri Apriadi ditemui dikantor ABR, Bandar Lampung, Selasa (22/02/2022).
Dijelaskan, Pasal 93 UU No.6/2018 tersebut sebagai norma dan asas yang mengikat sanksi pidana bagi siapapun yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
“Bahkan siapapun yang menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan juga bisa menjadi subyek pelaku tindak pidana ini,” ucapnya.
Menyikapi pelanggaran kerumunan massa di tengah meningkatnya kembali pandemi Covid-19 varian omicron saat ini, tentunya tidak melihat subyek hukum. Artinya, siapapun pelanggar kerumunan bisa dijerat hukum pidana,
Selain itu, menurut Eri Apriadi, Pasal 216 juga bisa digunakan sebagai alternatif atas dugaan pelanggaran penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
Maka, siapapun yang dengan sengaja dan sadar (Opzet bij Als Oogmerek) membuat penyelenggaraan kegiatan yang berdampak kerumunan massa dan dengan sadar dan sengaja mendatangi kerumunan massa itu, melanggar ketentuan UU (Psl 93 UU No. 06/2018), karena perbuatan itu merupakan perbuatan melawan hukum yang dapat dianggap sebagai Subjek Tindak Pidana.
Menanggapi terkait kelangkaan minyak goreng, Eri Apriadi, mengingatkan agar jangan sampai pelaku usaha melakukan penimbunan di tengah kelangkaan minyak goreng, dalam UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan melarang adanya penimbunan dalam jumlah besar. Pasal 52 ayat (1) UU Pangan menyebutkan, “Dalam hal Perdagangan Pangan, Pemerintah menetapkan mekanisme, tata cara, dan jumlah maksimal penyimpanan Pangan Pokok oleh Pelaku Usaha Pangan”.
Ayat (2)-nya menyebutkan, “Ketentuan mengenai mekanisme, tata cara, dan jumlah maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan pada Peraturan Pemerintah”.
Pasal 53 menyebutkan, “Pelaku Usaha Pangan dilarang menimbun atau menyimpan Pangan Pokok melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52”.
“Dalam Pasal 53 tersebut secara tegas melarang penimbunan atau penyimpanan bahan pokok melebihi jumlah maksimal,” kata dia.
Sementara dalam Pasal 29 ayat (1) UU No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan, “Pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang”.
Bagi pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok dalam waktu tertentu saat terjadi kelangkaan barang terancam hukuman pidana paling lama 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp50 miliar sebagaimana diatur Pasal 107 UU 7/2014 tersebut.
Pasal 107 UU 7/2014 menyebutkan, “Pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)”.
Menutup wawancara nya Eri Apriadi, menghimbau agar semua pihak yang terlibat dalam proses pendistribusian minyak goreng ini, segera mengatasi persoalan kelangkaan dan melambungnya harga minyak goreng ini, bahkan jika ada upaya upaya penimbunan yang berpotensi pidana, aparat penegak hukum harus secara tegas dan transparan memproses tindak pidana tersebut.