Bandar Lampung(DHTv)-Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Unila menggelar diskusi HAM secara online melalui platform media sosial Instagram secara live melalui akun @bemfhunila pada Kamis 31 Maret 2022.
Narasumber Gubernur Fakultas Hukum (FH) Unila M Faizaldo, Wakil Gubernur FH Unila Desy Aldina dan alumni Sehama X Hamka Dharma.
Tema diskusi “Kelanggengan Pelanggaran HAM dan Pembungkaman Kebebasan Perpendapat”.
“Diskusi HAM kali ini yang diadakan oleh BEM Fakultas Hukum Unila guna membangkitkan kita sebagai mahasiswa aktif yang memiliki peran yaitu sosial kontrol, yang mana mahasiswa harus mampu kritis terhadap isu-isu sosial yang ada dan outputnya isu-isu sosial tersebut dapat terjawab dan terselesaikan” ujar M Faizaldo.
Presiden BEM Fakultas Hukum Unila ini menerangkan, sejatinya hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki setiap manusia di seluruh dunia, tanpa memandang suku, bangsa, ras, agama, dan status sosial. HAM berkaitan dengan hak umat manusia sejak lahir.
Di Indonesia, perlindungan terhadap hak asasi manusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Namun berbanding terbalik dengan kondisi saat ini, masih langgengnya kasus pelanggaran HAM dan impunitas negara dalam menyelesaikan pelanggaran HAM tersebut hingga saat ini pun masih terjadi banyaknya kasus pelanggaran HAM salah satunya kebebasan berpendapat yang sering terjadi.
Dengan adanya hal tersebut negara secara tersirat artinya melanggengkan pelanggaran HAM dan membungkam kebebasan berpendapat warganya.
Menurutnya, kasus pelaporan oleh Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan yang berujung penetapan tersangka Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti merupakan contoh yang menunjukkan bahwa saat ini ada upaya pembungkaman kritik dan partisipasi publik.
Kasus itu bermula dari pembahasan antara Haris dan Fatia dalam video yang diunggah di akun YouTube milik Haris.
Pembahasan yang berangkat dari hasil riset dan laporan dari 9 NGO yang menyebutkan bahwa Luhut turut bermain dalam bisnis tambang di Intan Jaya, Papua. Hal yang kemudian disayangkan adalah apabila hasil riset tidak direspon dengan riset tandingan ataupun jawaban yang sifatnya hasil penelitian tetapi malah direspon dengan laporan ke polisi.
“Hal di atas menunjukkan bahwa negara bisa dibilang secara ‘telanjang’ menggunakan hukum sebagai senjata untuk memberangus pihak-pihak dalam hal ini mengatakan kebenaran tetapi malah dianggap musuh oleh oknum pemerintah,” jelasnya.
Adapun menurut Hamka Dharma, ketika membahas tentang cara menyikapi sebuah sistem yang memang didesain untuk meminimalisir kebebasan berpendapat, harus ada usaha mendobrak sistemnya.
Hal ini dilakukan dengan harapan bisa menciptakan sistem ulang, sebuah sistem yang dapat menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat.
“Sebagai mahasiswa kita bisa mulai dari turut aktif menolak upaya pembungkaman seperti ini seperti membuat opini, kajian, dan sebagainya untuk menambah pressure kepada pemerintah. Jadi, kita tidak perlu takut untuk menyuarakan apapun selagi kita punya landasan yang jelas dan tetap berpegang pada kebenaran dan keadilan,” ujar Hamka Dharma.
Desy Aldina menuturkan bahwa dengan diadakannya diskusi kali ini diharapkan mampu memberikan kesadaran bahwa negara saat ini masih melanggengkan pelanggaran HAM apalagi kasus yang sedang menimpa rekan Fatia koordinator kontras dan Haris Direktur Lokataru adalah salah satu bentuk pembungkaman kebebasan berpendapat. (Red)