Bandar Lampung (DHTv)-Pada dasarnya politik identitas bisa dikatakan sebagai alisan politik yang di dasari pada kesamaan masyarakat yang terpnggirkan atau yang mencoba menghimpun kekuatan untuk menunjukan kelompok-kelompok tertentu dalam proses eksistensi dirinya menjadi lebih besar. Politik Identitas adalah politik yang didasari atas kesamaan beranegarakam bentuk gerakan sosial dalam masyarakat. Politik identitas ini dimanfaatkan untuk mendulang suara-suara dalam pemilihan demokrasi di berbagai belahan negara di dunia.
Adapun yang menjadi ciri khas, yang ada di dalam politik identitas, antara lain; (1) Memiliki kesamaan dan tujuan untuk membentuk kekauatan berdasarkan peta politiknya. (2) Ketidakpuasaan yang muncul dari dalam masayrakat yang merasa terpinggirkan. (3) Memberikan jalur politik sebagai alternatif untuk menyatukan kekuatan dalam rankaian agenda demokrasinya.
Contoh Politik Identitas. Contoh yang dapat diberikan mengenai politik identitas ini antara lain adalah sebagai berikut; Politik Identitas Etnis ; Contoh pertama adalah politik identitas berdasarkan etnis, misalnya saja adanya pemilah kepada daerah yang dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia. Mentingkan kesamaan etnisnya untuk mendulang kemenangan dan kekauatan. Politik Identitas Agama ; Contoh mengenai politik identitas agama, misalnya saja dalam terbentuknya PAN (Partai Amanat Nasional) yang didasari atas ketersaingan dengan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Dua sistem partai pilitik ini sama-sama memiliki simbul agama untuk mendulang kekuatan dan kemenangan. Adapun untuk PAN berbasis Muhammadyah, dan untuk PKB berbasis NU (Nahdlatul Ulama). Politik Identitas Gender ; Jenis kelamin dan kesetaraan gender pada saat ini menucul sebagai salah satu politik identitas, misalnya adalah adanya kuota khusus yang dilakukan pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada para wanita berkarir di dunia politik.Tentusaja kondisi ini menjadikan timbulnya politik identitas, dimana kaum perempuan yang selama ini merasa terpinggirkan pada akhirnya bisa bersatu untuk memberikan dukungan dan mengutus keterwakilan perempuan dalam dunia poitik
Pada opini kali ini, penulis ingin memaparkan terkait Politik Identitas Agama dan Etnisistas dalam dinamika politik di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk Islam terbesar di dunia dan dengan beragam etnis serta suku bangsa yang ada oleh karena itu, maka keberagamaan merupakan suatu hal niscaya yang tidak dapat ditolak atau diubah oleh siapa pun. Identitas agama,etnik,dan politik hampir-hampir sulit dipisahkan. Secara antropologis ini juga berarti bahwa keberagamaan seseorang lebih banyak dipengaruhi keturunan dan lingkungan,bukannya pilihan bebas. Tempat lahir, warna kulit, bahasa, dan agama merupakan realitas primordial yang diterima seseorang, bukan karena hasil usahanya sendiri. Meski begitu, bisa saja seseorang setelah dewasa berganti agama. Namun persentasenya sangat sedikit. Begitu pun pilihan politik, hubungan kekerabatan, dan faham keagamaan sangat signifikan pengaruhnya.
Misalnya saja,meski tidak selalu taat menjalankan ajaran agama, para imigran Turki di Eropa jika ditanya agamanya pasti menjawab Islam. “I am Turk, therefore I am a Moslem,” begitulah kira-kira formula antropologisnya. Begitu pun warga Melayu di Malaysia, kalau tidak beragama Islam akan dianggap khianat terhadap identitas etnisnya. Penduduk Mindanao Selatan pun demikian, mereka kurang nyaman dianggap sebagai orang Filipina karena asosiasi Filipina adalah Katolik, sedangkan Mindanao adalah Islam dan adakalanya disebut bangsa Moro. Orang Thailand merasa identik dengan Buddha, sedangkan penduduk Patani yang berada di selatan selalu berusaha mempertahankan identitas keislamannya. Kata Patani sendiri diduga berasal dari Fathoni, seorang penyebar Islam ke wilayah itu. Sentimen yang demikian melekat antara identitas etnis dan agama sampai sekarang masih cukup kuat di beberapa wilayah Indonesia. Orang Aceh dan Minang pasti mengaku dan mempertahankan identitas keislamannya. Orang Manado adalah Katolik, sedangkan orang Bali adalah Hindu. Orang Sunda kalau tidak memeluk Islam dianggap aneh. Tentu saja ini bukan kemestian teologis, melainkan lebih merupakan ikatan tradisi keluarga dan masyarakat yang sudah berakar kuat sehingga siapa pun yang terlahir dalam lingkungan tersebut sulit untuk keluar dari agama etniknya.
Di Indonesia, misalnya, dengan menguatnya iklim kebebasan dan otonomisasi daerah,politik identitas etnis dan agama juga ikut menguat. Bahkan sekarang muncul paguyuban kesultanan Nusantara yang ingin menghidupkan kembali tradisi keraton yang pernah tumbuh di Indonesia jauh-jauh sebelum merdeka. Sebagian orang menyambut baik untuk memelihara kekayaan budaya itu dan sebagian lagi memandang tidak lagi cocok di alam demokrasi yang serba egaliter ini. Menjadi masalah serius ketika identitas agama dan etnik ini ditaklukkan dan ditunggangi oleh kepentingan politik sehingga yang muncul bukannya mempromosikan keunggulan budaya dan agama, melainkan lobi dan gerakan politik untuk berebut kekuasaan dengan dalih agama dan etnis.
Saat ini masyarakat sudah kritis, bahkan muak dengan gerakan politik sempalan yang menggunakan jargon dan simbol agama. Namun mayoritas warga memilih bersikap diam, takut dianggap anti agama. Ajaran agama, penjelasan ilmiah, dan ketegasan hukum perlu diintegrasikan untuk membangun Indonesia yang beradab agar pluralitas etnik dan agama menjadi aset bangsa,bukannya sumber keributan melulu. Kita perlu mengembangkan penalaran publik (public reasoning) dengan mengedepankan civic values yang mendorong dan menampung keunggulan nilai dan tradisi dari etnik dan agama yang ada di Indonesia.
Dengan kata lain, ruang publik sebaiknya diisi dengan kontribusi yang substansial dan fungsional, jangan dipenuhi dengan label dan jargon, tatapi minus isi. Agama yang pada awalnya selalu mendukung lahirnya peradaban unggul dan mengangkat derajat sebuah etnik ataupun bangsa, dalam perjalanannya sering tersudutkan sebagai pesakitan akibat politisasi dan manipulasi agama. Maka muncul citra agama sebagai sumber terorisme dan kekerasan.Agama lalu berwajah ganda, di satu sisi dipuji, dipertahankan, dan dikeramatkan sebagai jalan suci, pada sisi lain lalu dicurigai dan dianggap penghancur peradaban. Dualitas agama ini selalu muncul karena pada dasarnya agama tumbuh dalam ranah budaya yang telah memiliki karakter bawaan tersendiri.
Jadi, kalau terjadi kriminalitas di India, Indonesia, dan Filipina, jangan buru-buru menyalahkan ajaran Hindu, Islam, dan Katolik telah gagal membentuk moralitas karena sangat mungkin penyebabnya lebih bersifat demografis-ekonomis. Sekali lagi, peradaban sebuah bangsa perlu topangan kuat pilar pendidikan, ekonomi, dan hukum. Kalau ketiganya lemah,masyarakat yang mengaku religius pun peradabannya akan keropos. Meski sebuah bangsa selalu mengedepankan identitas agama dalam perjuangan politiknya, kalau pendidikannya rendah, ekonomi terbelakang, ditambah lagi hukum lemah, pasti sulit untuk bangkit. Salah satu kelemahan gerakan etnis dan keagamaan adalah lebih menonjolkan slogan dan membangkitkan emosi solidaritas kelompok, tetapi tidak menawarkan pemikiran yang konseptual, aplikatif,dan terukur.
Solidaritas kelompok dengan retorika agama sangat penting terutama di saat melawan penjajah karena kala itu semangat yang menonjol adalah fight against, sedangkan sekarang keadaan sudah berubah dan mesti beralih pada perjuangan fight for. Yang pertama menonjolkan keberanian untuk melawan dan mengusir musuh, sedangkan yang kedua adalah keberanian dan kemampuan untuk mencapai sebuah prestasi (fight for achievement). Jadi, jihad di era pasca kemerdekaan adalah perjuangan untuk menciptakan kemakmuran dan peradaban, bukan tindakan destruktif semacam terorisme. Suatu kenyataan tak terbantahkan bahwa Indonesia ini dihuni oleh beragam pemeluk agama dan beragam etnik yang merupakan realitas primordial. Itu semua mesti diterima dengan lapang dan saling menghormati, lalu bersamasama menyumbangkan yang terbaik dari tiap etnik dan agama itu untuk membangun peradaban di muka bumi melalui dialog dan public reasoning dengan mengedepankan civic values. Sekalipun bisa saja nilai-nilai itu berasal dari kitab suci, tidak perlu dikemukakan agar kohensi sosial dan rasa kekitaan lebih solid.
Solusi terbaik adalah menyatukan seluruh unsur kekuatan dari berbagai macam agama dan etnik yang ada di Indonesia dengan tujuan yang sama yaitu kemajuan peradaban dan kehidupan sosial yang saling menghormati dan menyayangi satu sama lain. Dinamika terjadi karena setiap kontestasi politik di Indonesia selalu bersifat dinamis dan fleksibel. Jadi perubahan bahkan sampai gesekan yang terjadi kerap tak dapat terhindarkan yang biasanya berujung pada mengaktifkan kekuatan gerakan sektoral yang memkili garis persamaan tertentu, baik itu persamaan agamanya, sukunya, asal daerahnya sampai etnik budayanya. Hal tersebut biasanya menjadi hal yang paling sexy dan selalu jadi menarik jika dijadikan cover address sebagai kemasan di dalam menghadapi dinamika politik. Oleh karenanya, yang perlu menjadi bahan evaluasi adalah kita perlu mengedepankan objektifitas dalam memutuskan atau menetapkan segala kebijakan politik. Hindari membawa isu Sara’ dan isu Etnik dalam berkontestasi tetap berjalan pada Rules nya masing-masing. Dengan demikian Agama dan Etnisitas bisa menjelma menjadi kekuatan yang hidup (Living Life) menjadi ruh sumber kebersatuan yang tidak bisa disinggung atau disenggol oleh pihak mana pun. (Red)